Wednesday, November 14, 2012

sajak saya di radar bojonegoro edisi 27 mei 2012


Seorang Pendengar

seseorang dalam diriku sangat ingin menjadi perahu
ketika itu aku mendapatinya melaut sendiri saja
musim angin bunyi ombak lebih gaduh dari biasa
seperti gemuruh detak dada lelaki
jatuh hati pada pada jam-jam yang salah
cinta tak pernah direncanakan, katanya 
apa kau tahu sesuatu paling syahdu dari cinta?
adalah menjadi bisu tiba-tiba 

ia dengar bahasa dermaga  kesepian di larut malam
aih, betapa lirih
ombak-ombak bisa mendengar lebih jelas dari dada sendiri

2012


Sore Itu

di bawah langit sore
mereka ingat lagu-lagu berjalan dengan hati dingin
sepanjang kenangan yang tua, angin terus mengembara
mata mereka tertutup, tapi pintu-pintu terbuka
hari yang sore menatap  pada jendela kaca
bagaimana angin memasuki ruang dada
antara suara-suara hanyut, sebuah lagu terus berdenyut
kemudian berdentum seperti tawa dari sudut  paling kalut
detak yang sama di jantung mereka
ketika menunggu sore menyerah di langit merah

2012



Hari Hujan

mereka berkenalan di  hari hujan
dua tetes air jatuh dari atap rumah
menimpa wajah-wajah gelisah
mata mereka saling berlayar
seperti perahu dengan lampu pijar

kemudian
dua tetes air jatuh di tangan
langit-langit berisik dada mereka terusik
mata mereka masih mengembara
hujan baru saja memekik

2012

 

sajak saya di majalah sastra kappas edisi #2 maret 2012


Renungan Biru


di musim angin daun-daun menjadi biru
kita yang di bangku taman memandang ke langit
barangkali tak lagi muda, mega-mega yang berjalan pelan di atas.
menutup  mata sendiri-sendiri
masih terdengar suara halus di banyak pohonan
pelan dan syahdu, seperti bunyi kelapangan di pojok kota
umpama kita masih duduk di bangku taman ini
belum mau juga beranjak kaki kita yang suka saling mendengar
betapa daun-daun itu bermelodi  lebih biru ketika berguguran
seseorang di antara kita akan beranjak juga akhirnya
dan bunyi langkah-langkah yang menjauh
betapa blues paling sendu.

2012



Angin Pengembara


seorang angin mengembara tanpa bicara
mencari sebuah apel  ke tempat yang jauh
di sebuah kota dengan warna cat tua,
bertahun-tahun seseorang menunggu cintanya
menggenggam sebuah apel yang semakin memerah.
pada suatu masa, angin akan berhenti di sebuah jalan
dan menjadi pohon apel.

2012

menemu absrtak


menemu makna-makna di dunia abstrak
betapa amat lucunya; ada kenyataan
di garis-garis tak terduga. abstrak dan
nyata, betapa hidup tak pernah berjalan
sendirian, betapa mimpi dan kenyataan
suka sekali bergandengan. sementara ia
tahu hidup semakin biru, ia ingin menyelam
dan mengisi jiwa dengan cinta sedalamnya,
menyelam sedalam-dalamnya energi yang
ia punya. energi cinta yang selalu ingin bisa
didebarkan di setiap dada manusia. semakin
ia menyelam semakin ia jatuh hati dengan
kehidupan. ia menikmati mimpi dan kenyataan
dengan energi cinta yang dalam. cinta yang
dalam.

(bojonegoro 2012)

alam terhadap malam


betapa alam pada malam
memiliki suara-suara halus
semacam detak dada manusia
yang sedang jatuh hati
cahaya-cahaya dalam gelap
yang berkilauan tapi tidak
menyilaukan.
malam yang halus.

(bojonegoro 2012)

ransel pertama


  
Pada awalnya aku sudah merasakan, bahwa aku akan pergi ke tempat jauh dalam jangka waktu yang lama dan dalam waktu dekat ini secepatnya. Aku menunggu masa-masa di mana aku akan meninggalkan semua yang ada, seolah-olah menunggu masa-masa kehilangan, kehilangan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari diri. Betapapun besar rasa sayang yang kita miliki saat itu, kepergian mengajarkan kita untuk menyadari bahwa tidak semua apa yang kita sayang bisa selalu kita miliki, dan bahwa betapa sedih dan hening dalam hati ketika berjalan sendiri meninggalkan orang-orang yang kita sayangi tetapi rasa sayang itu justru bertambah semakin kuat dalam hati ketika kita semakin jauh dan sendiri.  Orang-orang akan mengerti rasa sayang yang teramat kuat itu ketika mereka menjadi bagian dari orang yang meninggalkan. Aku adalah orang yang meninggalkan, meninggalkan anak-anak jalanan yang selama ini telah menjadi bagian penting dalam diriku dan betapa aku ingin selalu bisa mendebarkan rasa cinta yang tulus ke dalam setiap hati kecil mereka agar mereka memiliki rasa cinta yang kuat untuk terus belajar. Hidup sudah dipilih, hati sudah memutuskan, tentang jalan baru yang akan segera dilalui. Ini bukan tentang seberapa jauh jarak yang akan ditempuh, ini tentang sebuah perjalanan, tentang proses dari kehidupan. Begini ternyata rasanya menjadi orang yang meninggalkan, aku tinggalkan rumput-rumput yang semakin meninggi di taman budaya, pohon-pohon yang tumbuh semakin kuat, lampu-lampu jalan yang menua, warung jack yang selalu mengajakku berbicara tentang cinta dan kebenaran. Aku meninggalkan orang-orang yang baik hati itu, adalah mereka yang telah memberikan cinta, betapa lembut perasaan yang telah ditiupkan dalam dada, perasaan yang tetap akan ada dalam ruang-ruang dada dan tidak bisa tergantikan, orang-orang yang telah meninggalkan kenangan yang akan tetap hidup dalam ingatan, orang-orang yang telah merasa kehilangan karena telah aku tinggalkan. Betapa nama-nama mereka selalu berdetak dalam hati, anak-anakku yang sedang menumbuhkan cinta dalam dadanya dan sahabat-sahabatku yang telah menumbuhkan cinta.

Malam-malam sunyi semkain datang di tengah keramaian suara-suara, di tengah hujan yang deras, semuanya akan selesai, sebentar lagi. Aku bisa merasakan malam-malam terakhir di warung jack, malam ketika orang-orang warung menyanyikan lagu perpisahan. Juga merasakan tawa anak-anakku yang semakin menggema. Tanggal 12 April 2012, sahabatku Arun dari Samarinda datang ke Mataram. Dia sudah membeli tiket ketika aku mengatakan bahwa aku akan pergi. Menjelang hari-hari perpisahan itu aku justru sedang sibuk-sibuknya mengurus seleksi program pertukaran pemuda antar negara, aku dipercaya sebagai kordinator acara. Aku menyadari dengan kesibukan menjelang kepergian ini akan ada perasaan-perasaan sayang yang terlupakan sejenak, hanya terlupakan tapi tidak terhapuskan. Perasaan sayangku terhadap seseorang yang entah untuk apa dia datang dalam ruang dada paling sunyi, aku tidak pernah memintanya untuk masuk ke dalam ruang dada itu, tapi Tuhanlah yang mengirimkannya dan tiba-tiba dia sudah ada dalam dada dan aku tidak tahu kapan pintu itu telah aku buka. Aku sadar aku akan meninggalkannya, tetapi dia telah pergi sebelum aku tinggalkan tanpa sehelai katapun. Ini memang jalan yang sudah digariskan, aku harus merasa kehilangan sebelum aku membuat orang lain kehilangan. Baiklah, hari itu akan segera datang.Sebentar lagi matahari akan bersinar, sebentar lagi.

:lelaki yang seperti kopi; hangat dan manis
aku rasa perasaan ini memang sudah selesai, dan jalan yang baru sedang akan dimulai. 
 
(bojonegoro 2012)

beberapa sajak untuk saya dari seorang hudi leksono


catatan ini seperti harta karun untuk saya,
sangat berharga, terimakasih yah :)


Cendana
(sandalwood – Santalum album)

 angin nusa tenggara
mengantarkan wangi cendana
hingga gelegak rasa mengaduk eksotik aroma
serupa ribuan tahun merindu
tak tersadar, tak bisa bersabar
melompati masa metamorfosa kepompong,
hingga ingin ribuan ulat bulu
di reranting dan dedaunan bersalin kupu-kupu

 kupu kupu jantan
sayap bulu lukisan
warna abstrak dewa kasmaran
mengejar hitam mahkota menjuntai
sesekali sibak tergerai
berulang datang dengan tawa berderai

 nakal, … hinggap di putih leher
mencecap manis madu asmara
sambil berbisik mesra, di sini cinta
hanya  mengenal musim semi
seperti juga kayu cendana
yang selalu harum mewangi


harummu tubuh balutan cendana
harummu cecap rempah  nusantara
terhirup nikmat therapy aroma makna
tersesap nikmat rasa bumbu aksara
seuntai ronce tasbih kayu cendana
jagalah ia jangan terputus untainya
sebab siapa yang akan menjaga roh kudus cinta
selain putih hati kita
(June 11 2011)



Sajak Lukisan                                            

                             @ Fahrunnisa Hidayat


sajak di dadamu penuh lukisan
camar terbang langit biru tipis awan
layar kapal mengembang
pasir putih terbentang kulit lokan berpancaran
matahari menuju tenggelam
ranting bakau menuju pantai
tiang lampu nyaris patah bola lampu sudah pecah
café café malam mulai berwarna cahaya
keriput kursi kayu kembali diduduki lelaki muda
yang menyeruput kopi sendirian saja
gitar yang mulai jatuh melantai di pasir pantai
suara yang ingin diteriakkannya tapi tak sampai


suatu hari aku ingin menghadiahimu
satu set warna warna yang kuracik sendiri
dari bahan bahan alami yang kutanam sendiri
dari kunyit dari coklat  dari terong ungu dari bunga rose
aku ingin lukisan di dadamu semakin alami
menyerupai alam tempatmu berpijak tempatmu bernafas


bila tak sempat aku sampai pantai senggigi
cukuplah memandangi lukisan indah di dadamu saja
satu pesanku carilah kuas pallet yang kokoh kuat
dari kayu api api yang didatangkan ombak
yang dibakar matahari yang disapu badai

_______________________________________________________
terinspirasi dari sajak Senggigi Menjelang Petang _ Fahrunnisa Hidayat
(December 31 2011)



B I R U

Masih terlalu pagi
Ransel biru yang setia menemaniku
Serasa ingin mengajakku segera berlalu
Meninggalkan sepi sebelum langit biru
Biarkan kesendirian itu mati,
bersama sisa gulungan pita kaset ngeblue yang kusut

ke mana kita sekarang

mencari merah, katanya

di mana

di kapal kapal nelayan yang dicat merah
di sawah sawah petani yang menanam bawang merah
di seragam merah putih murid sekolah dasar
yang meniti jembatan hampir ambruk

di sisa bara puntung rokok  teman teman yang menulis puisi
tentang kebebasan, kejujuran, keadilan, keberanian
dan tentu saja cinta

di sisa nyala bara api  ban bekas yang dibakar demonstran kemarin
yang berteriak lantang tolak kenaikan BBM  sebab semakin Berat Beban siMiskin

dan tentu saja di hatimu
yang telah kutanam mawar 


(Maret 23 2012)

Catatan Ini Terinspirasi Dari Sebuah Film

Perfect Sense


Sepulang dari bioskop kita masih saja berandai-andai;
bagaimana jika kita yang menjadi  bintang filmnya. Kau
bayangkan virus mematikan  itu menimpa  kota ini, dan
segalanya akan musnah. Virus itu menyerang panca indera;
menghilangkan indera pengecap sehingga kita tak punya
nafsu  makan, pelan-pelan memecahkan gendang telinga
membuat kita tak  bisa saling mendengar debar jantung.
Tak butuh waktu lama, ia menyerang mata kita. Aku sangat
takut kita tak bisa  saling menatap lalu tersenyum seperti biasa.
Aku ingin dekat disampingmu agar aku bisa merasakan hangat
parfummu selagi penciuman kita belum tergerogoti. Tapi tiba-tiba
aku  tak bisa menghirup bau apapun, aku hanya bisa meraba
wajahmu dan berusaha menjaga ingatan tentangmu.

Seluruh kota menjadi buta, tuli, dan bisu seketika. Semata sunyi
dan gelap,  dan aku tak bisa merasakan  apa-apa lagi selain sesuatu
yang terus berdenyut, sesuatu yang berdetak halus di  jiwaku,
cinta.

(Mataram, 2 Maret 2012)

Tentang Beberapa Ingatan


: kepada ingatan lama yang masih manis


Saya baru saja berbicara dengan seorang teman tentang cinta monyet saya yang dulu, saya kepirian kamu, apa kabarmu sekarang? Kita pernah punya rasa yang sama, tetapi kita sulit sekali untuk bersatu. Salah satu alasan saya begitu keras saat itu adalah karena kita itu sepupu. Lihat betapa egoisnya saya.  Cinta adalah pengorbanan perasaan, dan segala masalah perasaan itu telah membuat kita lelah juga. Ternyata kita memang tidak berjodoh. Kamu memilih menikah dengan orang lain yang juga adalah sepupu saya dan juga sepupumu, kita bertiga sepupu dan teman sepermainan waktu kecil. Kalian sekarang adalah keluarga kecil yang bahagia, anakmu perempuan dan dia cantik sekali mirip seperti ibunya dan senyumnya manis sekali seperti kamu. Saya ingat isteri kamu menelpon saya ketika anak kalian lahir yang bertepatan dengan hari kartini. Ah, pernikahah yang indah tak terasa sudah cukup lama.


Beberapa bulan lalu saya diwisuda dan saya masih menyimpan sms-sms lucu kirimanmu dulu. Sms-sms itu membuat saya selalu bisa tertawa sampai sekarang. Syukurlah saya mencatatnya di dalam buku harian saya sebelum hp saya hilang ketika menyebrang ke pelabuhan Tano Sumbawa. Saya ingat hari itu, hari di saat kalian akan menikah bertepatan dengan hari ujian akhir semester saya. Saya menguatkan hati untuk datang dan berjanji  bahwa semua akan baik-baik saja meskipun saya tahu saya sangat begitu patah.  Saya datang juga akhirnya tetapi pernikahanmu sudah selesai.  Saya bertemu ibumu dan dia sedikit marah karena saya terlambat datang. Ibumu bilang kalau kamu mencari saya ketika akan mengucapakan sumpah pernikahan itu, kamu bertanya pada ibu kamu kenapa saya belum datang juga. Ibu kamu berkata seperti itu di depan isteri kamu, ah, entah mengapa tiba-tiba saya begitu ikhlas dan tulus dalam hati mendoakan semoga kalian senantiasa berbahagia.  Saya tak sadar sepulang dari acara pernikahan kamu ternyata saya menangis di atas sepeda motor, itu adalah airmata pertama saya yang jatuh untuk seorang lelaki.


Beberapa minggu setelah pernikahanmu saya sempat berkunjung ke rumah kamu, saya melihat hadiah pernikahan yang tidak begitu seberapa harganya karena saya tidak tahu harus membeli apa untuk hadiah pernikahan yang cocok untuk orang yang pernah saya sayangi itu terpajang di atas televisi di dalam kamar kalian. Saya sangat bahagia melihat kalian sekarang berbahagia dan sampai sekarang saya tetap mendoakan semoga senantiasa seperti itu. Syukurlah. Saya tak mungkin lupa kenangan-kenangan kita; kapan pertama kali kamu menggoda saya dan malam minggu pertama kita, kapan kamu mulai tak pernah memberi kabar dan saat kamu ajak isteri kamu itu pertama kali ke kontrakan saya saat kalian baru berpacaran dan saat itu saya berpikir itu akan menjadi kenangan yang paling patah. Tapi sekarang ingatan itu adalah ingtan yang sangat indah. Jatuh hati dan patah hati itu semuanya begitu manis bagi saya. Terimakasih banyak ya kamu baik sekali.

(Mataram larut, 24 Januari 2012)

Puisi di Sebuah Perjalanan

Perjalanan Akhir Pekan


buat sebuah malam


Perjalanan akhir pekan kali ini
aku memilih duduk di samping Camus
dan menikmati setiap warna La Peste
mengalahkan hati  untuk tidak membaca puisi cinta
hatiku yang sendiri ini, berkesepian.
dalam bis aku memandang ke luar jendela;
jalan semata masa lalu yang menjauh
dan jarak rimbun pohonan betapa semalam kita duduk begitu dekat

Apa kau tahu tentang cinta yang bisu sepanjang malam tetapi hujan tidak?

Iya, hujan yang bicara berisik sekali tadi malam sayang
mengalahkan petir yang menggelegar dalam dadaku
di setiap melodi dan syair Ary Julyant
ada sesuatu yang berdenyut antara nada tinggi dan rendah
antara puncak pohon pinus dan daun kering yang berserakan;
aku mendengar bunyi detak jantung di banyak semesta
bahasa perahu-perahu tenggelam di cemas senja
yang berhamoni syahdu itu memang suka sebentar saja
dan senantiasa membikin hanyut sepanjang dermaga.

Bab pertama sudah selesai aku baca, selalu ada yang akan dimulai kembali
aku menatap Camus lembut ke dalam, tapi di batin tak sebaris bahasapun mampu aku temui
seluruh huruf-huruf itu berloncatan dan menjelma orang-orang taman
bermain bass dan menabuh sebuah drum yang tadi malam kesepian.

(di atas awan, februari 2012)