Tuesday, August 16, 2011

Suatu saat yang biasa ..


"Ada saatnya semua akan menjadi biasa.

Matahari tetap matahari yang biasa, matahari

yang tak pernah mengharapkan apaapa. Dan

malam menjadi bukan mesra, bukan juga sunyi.

Suatu saat itu akan kita ketahui di suatu waktu

nanti. Rindupun menjadi biasa; orangorang itu

jauh tetapi kita tidak kesepian. Suatu saat yang

biasa itu menjadikan kita lebih menghargai ujian

dan kemenangan. Dan jiwa adalah berada ditengah-

tengah rasa; di antara sedih dan riang. Mati rasa

semacam detakdetak hidup dalam kematian. Kita

serupa pesakitan pada masamasa sedih dan ingin

segera datang, atau juga pada hidup yang penuh

tawa yang panjang. Mungkin kita baru sangat sadar

akan hidup yang fana, hidup yang tanpa iman. Hidup

tanpa cinta dari Rabbnnya."


(Mataram, 15 Agustus 2011)

a little note ..



"Jamjam akan terus berulang,

harihari, tahuntahun,

mereka pergi dan kembali,

mereka hilang dan berganti.

Tujuh hari akan tetap sama,

seperti bulan dan matahari,

menjadi yang baru setiap hari,

mereka pergi untuk terlahir kembali.

Seperti empat warna di negeri timur-barat,

negeri matahari-dingin;

musimmusim akan tetap berakhir,

untuk datang membawa cerita baru kembali.

Adalah kita sendiri,

lahir dan kembali,

menjadi diri dan menyepi,

kemudian hidup lagi."


(Mataram, Juli 2011)

Di Fujimaru

Di Fujimaru


Ketika Fujimaru meninggalkan Yokohama, aku sangat sunyi di tengah keramaian

Harmonika serupa lelaki yang kehilangan

Dia adalah rindu pada tanahnya yang tak berkesudahan

Pada aku, serenade kapal itu lebih melankolis dari warna awan

Yang putih kau kata sunyi, tak ada merah muda yang kerap kita simpan pada debar dada


Tapi kau lebih suka biru, yang haru dan menderu lukisan laut

Apa laut juga angin, yang bergelora seperti kau dan memberi denyut

Di Fujimaru itu, merah dan putih berkibar di tiup harmonika yang kalut

Kita berdiri di sisi tiangnya, dan pelabuhan lebih menyerupai jiwa yang hanyut.


Senja adalah lalu, Yokohama menjadi titik pada langit yang menjelma tanda tanya;

tentang samudera yang mendera juga cinta dengan takdirnya.


(Mataram, 27 Juli 2011)

Aku, Adik, dan Abang ..

Aku, adik dan abang ..


Seperti jejak kaki di atas batu, ada sekisah lalu yang sulit meluruh,

jejak kali ini tentang aku, adik, dan abang yang saling bekunjung di

mimpi di jantung. Kemarin dulu jejak kaki aku, adik, dan abang, mungkin

akan anda temukan jika suatu saat berkunjung ke jantungku jauh-tempuh.

Di dalamnya menampak roh kecil kami yang bermain dengan detak nadinadi

riuh-sepi. Kesepian pertama tentang ibu jari yang tak sama sunyi, jika anda

ijinkan aku membisiki kesepian yang kedua; adalah kami yang tertidur bertiga

dan menutup mata sendiri-sendiri. Kemudian aku, adik, dan abang bermimpi

tentang hidup yang sendiri. Aku bilang aku tak mau mimpi bahkan tak mau tidur,

karena tak bisa melihat adik dan abang. Tapi sebelum tidur abang menggenggam

jemari aku dan adik, dia kata bahwa ketika saling menggenggam jemari ketika tidur,

kita akan bertemu dalam mimpi. Mimpi pertama aku bertemu adik dan abang dan

aku senang ingin tidur saja selamanya. Tapi aku, adik, dan abang harus bangun

sendirisendiri, seperti menutup mata sendirisendiri.



(Mataram, 16 Juni 2011)

Sepanajng Jalan Udayana

Sepanjang Jalan Udayana


Sepanjang Jalan Udayana menjelang petang

suara azan di surau yang pintunya dicat hijau

tak semerdu waktu kita masih sering mengambil air wudhu

juga teratai yang tumbuh di sisi tiangnya semakin genang.

Adakah masih tikartikar lusuh di atas rumput itu berkeluh

tentang kita yang kerap duduk dan memesan jus jeruk

mungkin saja sepeninggal kita mejameja mulai berdebu

dan pintu warung samping surau masih menunggu untuk kita ketuk.

Sepanjang Jalan Udayana menjelang minggu

warung dan surau sama melankolisnya saat itu

kau suka melihat daun yang jatuh ditiup angin yang haru

apakah kau tahu, ada yang sedang jatuh ke dalam hatimu

ditiup matamu yang tibatiba saja berharu biru ..


(Mataram, 22 Mei 2011)