Sunday, January 22, 2012

Ia dan Sebuah Sepi

kepada Jack


Ia ingat pada sebuah sepi yang wanita, yang suka sekali

bernyanyi saat senja. Ia tak pernah tahu nyanyian apa itu,

yang ia tahu bahwa dadanya semkain tua. Mungkin sepi

memang suka lagu nostalgia. Ah, ia juga diam-diam

sebenarnya juga suka. Ia dan sebuah sepi itu punya aliran

musik yang sama. Ia suka sepi dan sepi senang padanya.

Mungkin mereka memang berjodoh. Dulu ia tak suka sepi,

rasanya seperti hidup dalam kematian. Tapi sekarang

rasa-rasa dunia semakin berisik, ia jadi suka sepi dan senja

seperti ia suka pada kedamaian hidup. Bagaimanapun rupa dunia,

ia telah terlanjur jatuh cinta pada sepi, dan memutuskan

menerima sepi apa adanya, seperti ia tulus menerima kata

memberi. Kali ini ia berharap tak ada lagi patah hati. Tak ada lagi.


(Sore di Jack, Januari 2012)


Coretan

Hari ini ia merasa seperti saat pertama kali mengenal apa itu sajak.

Saat itu ia sedang jatuh hati sekaligus patah hati dalam waktu

yang bersamaan, hati yang cukup hebat. Di sepanjang hidupnya,

sesuatu yang paling sajak dalam ruang-ruang dadanya adalah

sebuah kata paling kata yang tak sempat terucap.


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu

kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan

kepada hujan yang menjadikannya tiada.*


Begitulah yang sering dibacakan beberapa teman

ketika ia jatuh hati sekaligus patah hati. Sebuah

sajak memang bisa menjadi sama saja rasanya ketika

menangis atau tertawa. Ia merasa begitu terlambat

menyadari bahwa hujan memang sedang membasahi

sebuah jalan di dadanya. Ia selalu terlambat mengetahui

cuaca. Sesesal-sesalnya terlambat, ia lebih menerima dari

tidak sama sekali. Dan terhadap coretan ini, coretan yang

terlambat ini, ia berharap sesuatu yang tepat waktu.

(Mataram blues, 7 Januari 2012)

*SDD

Senggigi Menjelang Petang

Senggigi Menjelang Petang


Menjelang petang, angin kerap tiba-tiba dingin.

Orang-orang yang lelah pulang kerja seperti pun

burung-burung putih, dan kau rasaikah? degup

jantung kota yang menjadi syahdu serupa detak

jantungku di remang dada? Entah mengapa aku

ingin duduk dekat dengan kau sayang, bagaimana

kita saling mendengar debar di jantung masing-masing

dan menjadi gamang tiba-tiba; membiarkan bunga-bunga

itu tumbuh dengan sendiri dalam ruang dada paling sunyi.

Sebelum hari menjadi malam, kau akan melukis bagaimana

senja telah lama menenangkan kota, menghangatkan

jagung-jagung bakar di sepanjang jalan senggigi,

juga menggetarkan puisi laut paling sepi;

hidup yang pelan-pelan menemu arti.


Menjelang petang, pintu cafe lebih suka melankolis.

Remang pantai, cemas lampu, dingin kursi, dan tua gitar,

semua kerap saja menyuarakan betapa rindu jiwaku sayang,

dan musim ini kau rasaikah? pancaran warna paling dalam,

warna hijau langit paling malam?

(Mataram larut, 2011)

Lalu Dia

Lalu Dia*)


yang angin, dari utara ruang di tua dadaku

tanya serupa kau, memburu kenangan abu dan mistis waktu;

umpama sampai kapan angin akan berhenti membawa debu

menutup kota-kota, mengubur lembaran album dan buku-buku

atau rahasia tentang berjuta abad langit yang bukan biru

semesta yang kelabu.


oh, sesuatu yang lalu itu bukan berdetak dalam kepala

tetapi yang angin, berhembus dengan syahdu di dada kau Lalu Dia*

ketika warna langit bertambah muda

apakah kita akan pernah berhenti bertanya

bilamana daun-daun tak berjatuhan di musim gugur

mengabarkan tentang waktu yang akan beku

apakah setelah membeku, sebuah bintang akan meledak hancur?


Lalu Dia kekasihku,

mungkin jiwa memang air, yang semakin dalam semakin tenang

dan purnama yang separuh itu belahan jiwamu yang hilang.


(Mataram, September 2011)

*)Lalu : sebutan gelar bangsawan laki-laki sumbawa

Jarak Semakin Dekat

Jarak Semakin Dekat


jangan sebrangi laut itu untuk aku

aku akan begitu hanyut dalam samudera kau

dan oh, kapan kita bertemu?

rasa-rasa sudah lebih setahun lalu

bahkan mungkin sebelum kita disatu


pada kau, ada yang tibatiba menjadi syahdu didengar

musim hujan di jantung senja, rintik kata yang menggetar

semacam klarinet tentang rindu, menderu

yang berserakan di lantai hati kau

berjatuhan, jantung kau yang syair itu


oh, hati yg tinggi itu sebesar apakah?

puisi-puisi yang berguguran ke dinding dada

adalah kita separuh jiwa yang ikat

dan jarak yang jauh semakin dekat


(Mataram, September 2011)

Thursday, January 5, 2012

Di Suatu Hari Nanti



Aku ingat secangkir kopi yang mirip lelaki; hangat dan manis, mereka kompak sekali membuatku tidak bisa tidur. Hebat sekali.

Bagaimana jika kita bertemu seseorang dan merasa pernah bertemu sebelumnya. Dan hatimu menjadi penasaran bukan main. Pada kahir November kemarin, aku bertemu dengan seorang lelaki. Pertama kali melhatnya aku merasa seperti begitu dekat, sangat tidak asing, seperti aku sudah pernah berkenalan begitu lama dengannya. Aku bingung mengapa merasa seperti itu, sampai-sampai aku berfikir mungkin dia keluargaku yang lama tak bertemu. Tapi itu sangat tidak mungkin, karena itu adalah pertama kali kami bertemu dan kami beda kota asal.

Menghabiskan waktu seharian itu bersama-sama, membuatku makin penasaran dimanakah aku pernah melihat lelaki itu sebelumnya, seperti mirip seseorang yang aku kenal. Dia hangat dan manis, dan yang paling membuatku penasaran adalah cahaya matanya yang lembut dan tenang. Aku rasa aku pernah melihat cahaya mata yang seperti itu, dan entah dimana itu, di suatu tempat yang entahlah. Rasa penasaran seperti itu membuatku tidak bisa tidur, ada suara dalam hati kecil yang membuatku begitu yakin bahwa aku pernah melihat cahaya mata yang seperti itu sebelumnya. Mungkinkah seseorang bisa memilki cahaya mata yang sama? Aku rasa cahaya mata adalah pancaran isi hati, pancaran suara jiwa, tapi mungkin saja seseorang bisa memiliki cahaya mata yang sama dengan seseorang yang lain.

Desember telah usai dan tahun yang baru sudah dimulai, selama itu juga lelaki itu selalu mengganggu ingatan. Tadi malam aku bertemu dengannya, itu adalah pertemuan yang kedua. Pertemuan yang singkat, seperti hujan yang sebentar namun mampu mengguyur ingatan sepanjang malam. Aku bingung sendiri karena sampai sekarang belum juga kutemukan jawabannya di manakah tempat aku pernah melihatnya. Memang begitu banyak tanda tanya dalam kehidupan, dan mungkin tidak semua ada jawabannya. Tapi seseorang memang harus mencari kemudian menemukan. Tentang sesuatu itu, jalan semakin panjang dan sesuatu itu ada di suatu tempat. Suatu hari nanti mungkin kami akan bertemu lagi, dan itu akan menjadi pertemuan yang ketiga dan seterusnya dan seterusnya sampai tak akan ada lagi hitungan. Jadi, mari kita berjalan saja. There will be an answer, let it be*.

*)The Beatles: Let it be.