Hari ini ia merasa seperti saat pertama kali mengenal apa itu sajak.
Saat itu ia sedang jatuh hati sekaligus patah hati dalam waktu
yang bersamaan, hati yang cukup hebat. Di sepanjang hidupnya,
sesuatu yang paling sajak dalam ruang-ruang dadanya adalah
sebuah kata paling kata yang tak sempat terucap.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada.*
Begitulah yang sering dibacakan beberapa teman
ketika ia jatuh hati sekaligus patah hati. Sebuah
sajak memang bisa menjadi sama saja rasanya ketika
menangis atau tertawa. Ia merasa begitu terlambat
menyadari bahwa hujan memang sedang membasahi
sebuah jalan di dadanya. Ia selalu terlambat mengetahui
cuaca. Sesesal-sesalnya terlambat, ia lebih menerima dari
tidak sama sekali. Dan terhadap coretan ini, coretan yang
terlambat ini, ia berharap sesuatu yang tepat waktu.
(Mataram blues, 7 Januari 2012)
*SDD
No comments:
Post a Comment