Thursday, October 9, 2014

Tentang Seorang Baju Biru




Kegelisahan. Saya baru menyadari bahwa rasa gelisah memiliki energi yang sangat besar. Selesai bekerja di Jawa Timur saya pindah ke Bandung, niatnya untuk mencari pekerjaan sekaligus belajar Bahasa Perancis. Tapi lebih dari itu sebenarnya, saya ingin bertemu seseorang, seseorang yang sangat penting beberapa waktu kemarin. Saya tahu betul kemungkinan bertemu sangatlah mustahil, dia sedang mengikuti program ke luar negeri dan harapan saya ada keajaiban dia akan berada di Bandung. 

Tinggal di Bandung beberapa waktu membuat perasaan saya begitu sepi. Kota itu sekarang sudah sangat ramai seperti Jakarta, macet. Saya benar-benar sunyi di tengah keramaian. Tidak ada pekerjaan, tidak ada uang. Saya hidup dengan sisa tabungan hasil kerja keras waktu penempatan di Jawa Timur, dan hari demi hari keuangan semakin menipis. Saya begitu anti minta uang ke Ibu karena sudah terlalu lama tidak meminta uang sejak saya bisa mencarinya sendiri. Ibu tidak mendukung saya belajar Bahasa Perancis, beliau tidak mau saya melanjutkan studi ke Negara itu dan menetap disana, beliau takut saya tidak ingin pulang, sebenarnya Ibu ingin saya segera menikah, karena waktu itu memang ada acara perjodohan di rumah. Saya katakan kalau jodoh kami pasti bersatu.

Di Bandung dengan cuaca dingin, hujan setiap hari, seseorang yang ada di hati saya begitu jauh, tidak punya uang, tabungan terakhir saya simpan untuk tiket pesawat ketika benar-benar sudah menyerah dalam arti tak ada uang sepeser pun dan tak bisa hidup di Bandung. Benar-benar menyiksa. Lebih menyiksa lagi orang yang saya suka hanya menganggap saya teman biasa, betapa saya ingin mengenalnya dengan baik, saya ingin menjadi teman baiknya. Apakah saya berharap? Menyebut namanyapun saya tak punya keberanian, apalagi berharap, saya begitu takut jatuh. Saya tahu saya bertepuk sebelah tangan, dan saya menyadari begitu banyaknya perbedaan saya dan dia. Kenapa dia begitu menawan, padahal orangnya sederhana saja. Saya  belum menyadari ini waktu pertama kali bertemu, dia memakai baju biru, sederhana dan saya langsung suka, membuat saya tidak bisa melihat orang lain selain dirinya. Gila. Apakah ini cinta? Saya tidak tahu, saya masih menelusuri itu.

Menyebut Bandung, artinya sama dengan menyebut namanya. Kota itu adalah kotanya. Setiap kali orang menyebut kata Bandung, tiap itupun dia selalu muncul pertama kali dalam pikiran saya, dan entah mengapa perasaan tertarik dan suka muncul dengan bebasnya, dengan hidupnya, dengan nyamannya. Saya suka perasaan seperti ini, perasaan yang tidak mengharapkan apa-apa selain semua akan baik-baik saja, saya selalu berdoa dia akan tetap baik-baik saja, sehat lahir dan batin, saya sering mendoakannya begitu. 

Pernah saat itu saya berkunjung ke kampusnya, saya ingin tahu seperti apa suasana kampusnya, saya bayangkan dia duduk di kantin sambil tertawa dengan teman, atau berjalan sendirian di jalan setapak, atau bersepeda di bawah pohon. Kenapa semakin lama dia semakin dalam di hati saya, saya takut dengan perasaan yang dalam ini. Saya memutuskan untuk melepaskan, bukannkah mencintai artinya melepaskan? Membebaskan dia kemanapun hatinya ingin pergi. 

Tapi entah mengapa, rasa-rasa Tuhan senantiasa meniupkan perasaan itu sehingga dia selalu ada, Tuhan selalu punya rencana yang lebih indah dari yang saya bayangkan. Energi cinta ini semata-mata anugerah dari Tuhan, energi ini begitu lembut dan halus seperti ketulusan, saya hanya meminta perasaan yang seperti ini. Energi ini memberikan saya semangat untuk berkarya. Saya menulis begitu banyak puisi. Setiap kalimatnya saya tulis dengan segenap rasa yang saya miliki terhadap orang itu. Saya suka sekali puisi saya, puisi yang hidup, puisi yang saya tulis benar-benar dengan hati. Puisi terbaik yang pernah saya tulis. Perasaan ini biarlah, biarlah disimpan dihati saja tak apa. Mungkin suatu saat nanti akan terungkap, sungguh rahasia Tuhan yang Maha Menggenggam Hati manusia, Maha Kasih.

Mataram 2014
 

No comments:

Post a Comment