“Kota
Tua”, Salah satu puisi yang saya tulis
ketika mengingat seseorang. Jauh sekali rasanya jarak memisahkan. Saya menulis ini ketika di Bandung,
siang-siang duduk di sebuah kedai kopi, di meja kayu yang sepi, langit mendung,
daun berjatuhan, musim hujan angin.
“Kota
Tua” adalah sudut kota Bandung yang mulai terlupa karena orang-orang yang
semakin banyak berdatangan dengan gaya hidup modern.
Kota Tua
kupahami akhirnya
bagaimana kau dipeluk kota itu
gedungnya yang membungkuk
merangkulmu dari gigil terotoar
orang dengan motif kotak-kotak
bermata sendu dalam coffee shop
kotamu adalah
album country
liris lagunya
yang renta
menyimpan kartu
pos gambar kereta
; western movies hanyalah drama koboi
kisah kuda putih yang rindu jam-jam sepi
sementara aku
peta yang hilang
manakala pendatang hendak pulang
(Desember 2012)
Saya
tak punya rencana mengapa bisa menetap di Bandung beberapa waktu. Ada sesuatu tentang Kota Itu, dan saat itu
saya belum mengerti sesuatu apa yang menarik hati saya. Saya membaca lagi “Kota
Tua”, karena saya mengingat beberapa waktu lalu saya bertemu dan menghabiskan
waktu bersama dia di akhir tahun. Saya
menulis “Kota Tua” akhir Desember tahun lalu. Desember kali ini saya
benar-benar melihat dia, bukan dalam mimpi lagi, tapi mengapa rasanya masih
saja jauh. Dia duduk di samping saya, tapi rasanya masih jauh.
Dia
selalu ingin pulang ke Kota Itu, seperti saya ingin pulang ke Kota Ini. Saya
sangat rindu Kota Ini; Mataram yang temaram, saya selalu ingin pulang. Mungkin
dia juga rindu dengan sesuatu yang ada di Kota Itu, Kota Tua yang indah.
Mungkin ada seseorang yang indah, kekasih yang indah.
Dan
sekarang saya paham mengapa rasanya jarak begitu jauh, seperti saya paham rasa
hati saya saat ini; Saya mulai
mengerti, ada yang seperti laut biru di hati saya.
Mataram, Januari
2014
No comments:
Post a Comment