Thursday, October 9, 2014
Adalah Dia, yang Seperti Laut
Lalu saya memutuskan
kembali ke kota ini
dengan laut biru di hati saya
gelombangnya menuntun saya
kepadanya yang berada di kota ini
akhirnya saya mengerti
kenapa ingin menetap di kota itu
seperti saya mengerti
kenapa ingin kembali ke kota ini
alasan keduanya ternyata sama
adalah dia, yang seperti laut
Kota ini Mataram, Februari 2014
Biru Seperti Laut
“Kota
Tua”, Salah satu puisi yang saya tulis
ketika mengingat seseorang. Jauh sekali rasanya jarak memisahkan. Saya menulis ini ketika di Bandung,
siang-siang duduk di sebuah kedai kopi, di meja kayu yang sepi, langit mendung,
daun berjatuhan, musim hujan angin.
“Kota
Tua” adalah sudut kota Bandung yang mulai terlupa karena orang-orang yang
semakin banyak berdatangan dengan gaya hidup modern.
Kota Tua
kupahami akhirnya
bagaimana kau dipeluk kota itu
gedungnya yang membungkuk
merangkulmu dari gigil terotoar
orang dengan motif kotak-kotak
bermata sendu dalam coffee shop
kotamu adalah
album country
liris lagunya
yang renta
menyimpan kartu
pos gambar kereta
; western movies hanyalah drama koboi
kisah kuda putih yang rindu jam-jam sepi
sementara aku
peta yang hilang
manakala pendatang hendak pulang
(Desember 2012)
Saya
tak punya rencana mengapa bisa menetap di Bandung beberapa waktu. Ada sesuatu tentang Kota Itu, dan saat itu
saya belum mengerti sesuatu apa yang menarik hati saya. Saya membaca lagi “Kota
Tua”, karena saya mengingat beberapa waktu lalu saya bertemu dan menghabiskan
waktu bersama dia di akhir tahun. Saya
menulis “Kota Tua” akhir Desember tahun lalu. Desember kali ini saya
benar-benar melihat dia, bukan dalam mimpi lagi, tapi mengapa rasanya masih
saja jauh. Dia duduk di samping saya, tapi rasanya masih jauh.
Dia
selalu ingin pulang ke Kota Itu, seperti saya ingin pulang ke Kota Ini. Saya
sangat rindu Kota Ini; Mataram yang temaram, saya selalu ingin pulang. Mungkin
dia juga rindu dengan sesuatu yang ada di Kota Itu, Kota Tua yang indah.
Mungkin ada seseorang yang indah, kekasih yang indah.
Dan
sekarang saya paham mengapa rasanya jarak begitu jauh, seperti saya paham rasa
hati saya saat ini; Saya mulai
mengerti, ada yang seperti laut biru di hati saya.
Mataram, Januari
2014
Tentang Seorang Baju Biru
Kegelisahan.
Saya baru menyadari bahwa rasa gelisah memiliki energi yang sangat besar.
Selesai bekerja di Jawa Timur saya pindah ke Bandung, niatnya untuk mencari
pekerjaan sekaligus belajar Bahasa Perancis. Tapi lebih dari itu sebenarnya,
saya ingin bertemu seseorang, seseorang yang sangat penting beberapa waktu
kemarin. Saya tahu betul kemungkinan bertemu sangatlah mustahil, dia sedang
mengikuti program ke luar negeri dan harapan saya ada keajaiban dia akan berada
di Bandung.
Tinggal di Bandung beberapa waktu membuat perasaan saya begitu
sepi. Kota itu sekarang sudah sangat ramai seperti Jakarta, macet. Saya
benar-benar sunyi di tengah keramaian. Tidak ada pekerjaan, tidak ada uang.
Saya hidup dengan sisa tabungan hasil kerja keras waktu penempatan di Jawa
Timur, dan hari demi hari keuangan semakin menipis. Saya begitu anti minta uang
ke Ibu karena sudah terlalu lama tidak meminta uang sejak saya bisa mencarinya
sendiri. Ibu tidak mendukung saya belajar Bahasa Perancis, beliau tidak mau
saya melanjutkan studi ke Negara itu dan menetap disana, beliau takut saya tidak ingin pulang, sebenarnya Ibu ingin saya segera menikah,
karena waktu itu memang ada acara perjodohan di rumah. Saya katakan kalau jodoh
kami pasti bersatu.
Di Bandung dengan
cuaca dingin, hujan setiap hari, seseorang yang ada di hati saya begitu jauh,
tidak punya uang, tabungan terakhir saya simpan untuk tiket pesawat ketika
benar-benar sudah menyerah dalam arti tak ada uang sepeser pun dan tak bisa
hidup di Bandung. Benar-benar menyiksa. Lebih menyiksa lagi orang yang saya
suka hanya menganggap saya teman biasa, betapa saya ingin mengenalnya dengan
baik, saya ingin menjadi teman baiknya. Apakah saya berharap? Menyebut
namanyapun saya tak punya keberanian, apalagi berharap, saya begitu takut
jatuh. Saya tahu saya bertepuk sebelah tangan, dan saya menyadari begitu
banyaknya perbedaan saya dan dia. Kenapa dia begitu menawan, padahal orangnya
sederhana saja. Saya belum menyadari ini
waktu pertama kali bertemu, dia memakai baju biru, sederhana dan saya langsung
suka, membuat saya tidak bisa melihat orang lain selain dirinya. Gila. Apakah
ini cinta? Saya tidak tahu, saya masih menelusuri itu.
Menyebut
Bandung, artinya sama dengan menyebut namanya. Kota itu adalah kotanya. Setiap
kali orang menyebut kata Bandung, tiap itupun dia selalu muncul pertama kali
dalam pikiran saya, dan entah mengapa perasaan tertarik dan suka muncul dengan
bebasnya, dengan hidupnya, dengan nyamannya. Saya suka perasaan seperti ini,
perasaan yang tidak mengharapkan apa-apa selain semua akan baik-baik saja, saya
selalu berdoa dia akan tetap baik-baik saja, sehat lahir dan batin, saya sering
mendoakannya begitu.
Pernah saat itu saya berkunjung ke kampusnya, saya ingin
tahu seperti apa suasana kampusnya, saya bayangkan dia duduk di kantin sambil
tertawa dengan teman, atau berjalan sendirian di jalan setapak, atau bersepeda di
bawah pohon. Kenapa semakin lama dia semakin dalam di hati saya, saya takut
dengan perasaan yang dalam ini. Saya memutuskan untuk melepaskan, bukannkah
mencintai artinya melepaskan? Membebaskan dia kemanapun hatinya ingin pergi.
Tapi entah mengapa, rasa-rasa Tuhan senantiasa meniupkan perasaan itu sehingga
dia selalu ada, Tuhan selalu punya rencana yang lebih indah dari yang saya
bayangkan. Energi cinta ini semata-mata anugerah dari Tuhan, energi ini begitu
lembut dan halus seperti ketulusan, saya hanya meminta perasaan yang seperti
ini. Energi ini memberikan saya semangat untuk berkarya. Saya menulis begitu
banyak puisi. Setiap kalimatnya saya tulis dengan segenap rasa yang saya miliki
terhadap orang itu. Saya suka sekali puisi saya, puisi yang hidup, puisi yang
saya tulis benar-benar dengan hati. Puisi terbaik yang pernah saya tulis.
Perasaan ini biarlah, biarlah disimpan dihati saja tak apa. Mungkin suatu saat
nanti akan terungkap, sungguh rahasia Tuhan yang Maha Menggenggam Hati manusia,
Maha Kasih.
Mataram 2014
Baju Biru
Lelaki ini. Saya kenal dia.
Meskipun jarang bertemu karena beda kota. Ini pertama kali saya bahagia
mengagumi seseorang karena saya bingung mengapa saya bisa kagum. Tak ada alasannya,
saya cukup mengenal seperti apa dia. Dia lelaki yang kaku, sedikit pemalu,
sedikit berbicara, sedikit dingin tapi banyak perhatian. Semua hal itu sangat
manis, hal-hal yang mungkin orang lain atau bahkan dirinya sendiri menganggap
itu suatu kekurangan, tapi mengetahui itu semua membuat saya bahagia mengagumi
dengan apa adanya, mengagumi kekurangan dan kelebihannya, mengagumi
bagaimanapun dia. Pertama kali dia mengirim pesan, memperkenalkan namanya. Dia temannya
teman saya di Bandung, perasaan ini saya juga belum mengerti, saya merasakan
lelaki ini yang akan ada di hati saya. Hanya sebuah pesan, dan perasaan saya
langsung ingin mencarinya.
Di media sosial, saya menemukan
dia. Saya benar-benar mencarinya dan menemukannya. Saya terus melihatnya, entah
mengapa saya ingin melihatnya. Dia menjadi orang yang pertama kali ingin saya
lihat. Saya berharap ini wajar saja, mungkin saya begitu penasaran karena belum
bertemu.
Hari itu, pertama kali saya
melihatnya, pertama kali kami bertemu, dia memakai baju biru, seperti yang
sudah ada dalam pikiran saya, persis, seperti apa yang ada dalam benak saya.
Mempesona. Iya, saya terpesona, dia memiliki sesuatu yang membuat saya
terpukau. Dia memiliki pesona, dan cahaya itu langsung membuat saya tersipu
tanpa banyak kata, hanya sapaan dan senyum. Saat itu saya tahu kalau saya
benar-benar sedang akan jatuh hati.
Subscribe to:
Posts (Atom)